Tacca palmata

Tacca palmata
freelance

Senin, 14 November 2011

Selasa, 25 Oktober 2011

tanaman obat

Secang atau sepang (Caesalpinia sappan L.) adalah tumbuhan berwujud pohon anggota suku polong-polongan (Fabaceae).

Tumbuhan ini berasal dari Asia Tenggara maritim dan mudah ditemukan di Indonesia. Kulit kayunya dimanfaatkan orang sebagai bahan pengobatan, pewarna, dan minuman penyegar. Hingga abad ke-17 kulit kayunya menjadi bagian dari perdagangan rempah-rempah dari Nusantara ke berbagai tempat di dunia. Ia dikenal dengan berbagai nama, seperti seupeueng (Aceh), sepang (Gayo), sopang (Toba), lacang (Minangkabau), secang (Sunda), secang (Jawa), secang (Madura), sepang (Sasak), supa (Bima), sepel (Timor), hape (Sawu), hong (Alor), sepe (Roti), sema (Manado), dolo (Bare), sapang (Makasar), sepang (Bugis), sepen (Halmahera selatan), savala (Halmahera Utara), sungiang (Ternate), roro (Tidore), sappanwood (Inggris), dan suou (Jepang).

Kerabat dekatnya, kayu brazil (C. echinata), juga dimanfaatkan untuk hal yang sama.

Tumbuhan berbentuk pohon atau perdu, tinggi mencapai 6m. Kayu silinder, warna hijau kecoklatan. Daun majemuk menyirip ganda khas Caesalpinioideae, panjang 25-40 cm, anak daun 10-20 pasang, bentuk lonjong, pangkal rompang, ujung bulat, tepi rata, panjang 10-25 mm, lebar 3-11 mm, hijau. Bunga tersusun majemuk, bentuk malai, di ujung batang, panjang 10-40 cm, kelopak lima, hijau, benang sari 15 mm, putik panjang 18 mm, mahkota bentuk tabung, kuning. Buah tipe polong, panjang 8-10 cm, lebar 3-4 cm, ujung seperti paruh, berisi 3-4 biji, hitam. Biji bulat panjang, panjang 15-18 mm, lebar 8-11 mm, tebal 5-7 mm, kuning kecoklatan. Akar tunggang, coklat kotor.

Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Fabales
Famili: Fabaceae
Upafamili: Caesalpinioideae
Genus: Caesalpinia
Spesies: C. sappan L

Kamis, 13 Oktober 2011

perkecambahan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum
- Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kecambah
- Mengetahui pengertian dari perkecambahan
- Mengetahui jenis hormon yang mempengaruhi dalam perkembangan perkecambahan.

1.2 Tinjauan Pustaka
Pada setiap tahap dalam kehidupan suatu tumbuhan, sensitivitas terhadap lingkungan dan koordinasi respons sangat jelas terlihat. Tumbuhan dapat mengindera gravitasi dan arah cahaya dan menanggapi stimulus-stimulus ini dengan cara yang kelihatannya sangat wajar bagi kita. Seleksi alam lebih menyukai mekanisme respons tumbuhan yang meningkatkan keberhasilan reproduktif, namun ini mengimplikasikan tidak adanya perencanaan yang disengaja pada bagian dari tumbuhan tersebut (Kimball,1996).
Perkecambahan merupakan permulaan kembali pertumbahan tumbuhan embrio didalam biji. Yang di perkannya ialah suhu yang cocok, banyaknya air yang memadai dan cukup bagi satu spesies mungkin tidak demikian bagi yang lain, namun untuk tiap spesies harus dipenuhi tiga kondisi. Periode dormasi juga merupakan persyaratan bagi perkecambahan banyak biji sebagai contoh, biji buah apel hanya dapat berkecambah setelah masa dingin yang lama. Ada bukti bahwa pencegah kimia terdapat di dalam bijinya ketika terbentuk. Pencegah ini lambat laun akan dipecah pada suhu rendah samapai tidak lagi memadai untuk menghalangi perkecambahan ketika kondisi lainnya menjadi baik (Kimball,1996).
Bagi banyak tumbuhan angiospermae di gurun pasir mempunyai pencegah yang telah terkikis oleh air dalam tanah. Dalam proses ini lebih banyak air diperlukan daripada yang harus ada untuk perkecambahan itu sendiri, terbuka terhadap cahaya untuk waktu yang sesuai juga merupakan persyatan yang penting bagi perkecambahan untuk beberapa kasus. Biji-biji beberapa tumbuhan rawa hanya akan berkecambah setelah lama terkena cahaya matahari. Sebaliknya biji tumbuhan gurun pasir tertentu justru terhalang kalau terlalu lama terkena cahaya (Kimball,1996).
Gerakan Pertumbuhan
Kecuali gerakan turgor, tumbuhan bereaksi terhadap perubahan di alam sekitarnya dengan pertumbuhan. Tentu saja respon jenis ini perlu jangka waktu yang lama dari pada respon turgor atau respon sistem sarap pada hewan. Respon pertumbuhan dapat mengkibatkan bagian tumbuhan cepat tumbuh dari pada bagian lainnya. Respon seperti ini menghasilkan gerakan yang pasti tetapi relatif sensitif lamban. Pada tumbuhan dikenal dua macam gerakan pertumbuhan sebagai respon gerakan pertumbuhan sebagai respon terhadap rangsangan dari luar (Kimball,1996).
1. Gerakan nasti, ialah respon yang tidak ditentukan oleh arah asal rangsangan luar yang mengenai organisme. Bunga-bunga tertentu merekah setelah matahari terbit adalah contoh dari gerakan nasti.
2. Tropisme, ialah gerakan pertumbuhan yang arahnya ditentukan oleh arah rangsangan yang mengenai tumbuhan. Jika bagian yang tumbuh ke arah asal rangsangan tropisme itu positif, pertumbuhan ke arah yang berlawanan dengan arah rangsangan merupakan tropisme negatif.
Selain gerakan pertumbuhan, kita tahu bahwa beberapa perubahan perkembangan penting pada tumbuhan terjadi sebagai respon terhadap rangsangan lingkungan. Perkecambahan biji, perkembangan kembali tumbuhan tahunan pada musim semi, dan perkembangan bunga dimulai sebagai hasil picuan lingkungan. Masalah pengertian bagaimana tumbuhan bereaksi terhadap perubahan di alam sekitarnya ada dua macam. Yang pertama, kita harus mengetahui bagaimana tumbuhan mendeteksi rangasangan khusus. Yang kedua, kita harus mengetahui bagaimana berbagai jaringan tumbuhan itu terkoordinasi untuk bertindak terhadap respon tadi (Kimball,1996).
Walaupun tumbuhan tidak memiliki sistem saraf, tumbuhan mempunyai berbagai mekanisme sehingga dapat bereaksi terhadap perubahan dialam sekitar. Tumbuhan bereaksi terhadap arah cahaya, panjang gelombang, dan lam pengenaan cahaya. Tumbuhan bereaksi terhadap gravitasi dan suhu. Semua respon ini memerlukan suatu cara (fitokrom, karotenoid) pendeteksian di alam sekitar. Mekanisme detektor ini dapat ditempatkan pada kuncup terminal atau daun atau dimana saja. Bila rangsangan itu sudah terdeteksi maka tanaman ini memerlukan sistem komunikasi agar memungkinkan semua bagian tanaman bereaksi denagn cara yang baik lagi terkordinasi. Sistem komunikasi bias terdiri dari pengaruh kimiawi misalnya auksin, florigen yang diangkut dalam floem (Kimball,1996).
Istilah auksin berasal dari bahasa Yunani yaitu auxien yang berarti meningkatkan. Auksin ini pertama kali digunakan Frits Went, seorang mahasiswa pascasarjana di negeri Belanda pada tahun 1962, yang menemukan bahwa suatu senyawa yang belum dapat dicirikan mungkin menyebabkan pembengkokan koleoptil oat ke arah cahaya. Fenomena pembengkokan ini dikenal dengan istilah fototropisme. Senyawa ini banyak ditemukan Went didaerah koleoptil. Aktifitas auksin dilacak melalui pembengkokan koleoptil yang terjadi akibat terpacunya pemanjangan pada sisi yang tidak terkena cahaya matahari (Salisbury,1995).
Auksin yang ditemukan Went, kini diketahui sebagai Asam Indole Asetat (IAA) dan beberapa ahli fisiologi masih menyamakannya dengan auksin. Namun tumbuhan mengandung 3 senyawa lain yang strukturnya mirip dengan IAA dan menyebabkan banyak respon yang sama dengan IAA. Ketiga senyawa tersebut dapat dianggap sebagai auksin. Senyawa-senyawa tersebut adalah asam 4-kloroindol asetat, asam fenilasetat (PAA) dan asam Indolbutirat (IBA) (Dwidjoseputro,1992).
Para ahli fisiologi telah meneliti pengaruh auksin dalam proses pembentukan akar lazim, yang membantu mengimbangkan pertumbuhan sistem akar dan sistem tajuk. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa auksin dari batang sangat berpengaruh pada awal pertumbuhan akar. Bila daun muda dan kuncup, yang mengandung banyak auksin, dipangkas maka jumlah pembentukan akar sampling akan berkurang. Bila hilangnya organ tersebut diganti dengan auksin, maka kemampan membentuk akar sering terjadi kembali. Auksin juga memacu perkembangan akar liar pada batang. Banyak spesies berkayu, misalnya tanaman apel (Pyrus malus), telah membentuk primordia akar liar terlebih dahulu pada batangnya yang tetap tersembunyi selama beberapa waktu lamanya, dan akan tumbuh apabila dipacu dengan auksin. Primordia ini sering terdapat di nodus atau bagian bawah cabang di antara nodus. Pada daerah tersebut, pada batang apel, masing-masing mengandung sampai 100 primordia akar. Bahkan, batang tanpa primordia sebelumnya kan mampu menghasilkan akar liar dari pembelahan lapisan floem bagian luar (Salisbury, 1995).
Cahaya mempengaruhi perkecambahan dengan tiga cara, yaitu dengan intensitas (kuantitas) cahaya, kualitas cahaya (panjang gelombang) dan fotoperiodisitas (panjang hari). Cahaya dengan intensitas tinggi dapat meningkatkan perkecambahan pada biji-biji yang positively photoblastic (perkecambahannya dipercepat oleh cahaya); jika penyinaran intensitas tinggi ini diberikan dalam durasi waktu yang pendek. Hal ini tidak berlaku pada biji yang bersifat negatively photoblastic (perkecambahannya dihambat oleh cahaya). Biji positively photoblastic yang disimpan dalam kondisi imbibisi dalam gelap untuk jangka waktu lama akan berubah menjadi tidak responsif terhadap cahaya, dan hal ini disebut skotodormant. Sebaliknya, biji yang bersifat negatively photoblastic menjadi photodormant jika dikenai cahaya. Kedua dormansi ini dapat dipatahkan dengan temperatur rendah. Yang menyebabkan terjadinya perkecambahan adalah daerah merah dari spektrum (red; 650 nm), sedangkan sinar infra merah (far red; 730 nm) menghambat perkecambahan. Efek dari kedua daerah di spektrum ini adalah mutually antagonistic (sama sekali bertentangan). Jika diberikan bergantian, maka efek yang terjadi kemudian dipengaruhi oleh spektrum yang terakhir kali diberikan. Dalam hal ini, biji mempunyai 2 pigmen yang photoreversible (dapat berada dalam 2 kondisi alternatif).
Kebutuhan akan cahaya untuk perkecambahan dapat diganti oleh temperatur yang diubah-ubah. Kebutuhan akan cahaya untuk pematahan dormansi juga dapat digantikan oleh zat kimia seperti KNO3, thiourea dan asam giberelin. Faktor-faktor yang menyebabkan dormansi pada biji dapat dikelompokkan dalam: (a) faktor lingkungan eksternal, seperti cahaya, temperatur, dan air; (b) faktor internal, seperti kulit biji, kematangan embrio, adanya inhibitor, dan rendahnya zat perangsang tumbuh; (c) faktor waktu, yaitu waktu setelah pematangan, hilangnya inhibitor, dan sintesis zat perangsang tumbuh. Dormansi pada biji dapat dipatahkan dengan perlakuan mekanis, cahaya, temperatur, dan bahan kimia. Proses perkecambahan dalam biji dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu proses perkecambahan fisiologis dan proses perkecambahan morfologis. Sedangkan dormansi yang terjadi pada tunas-tunas lateral merupakan pengaruh korelatif dimana ujung batang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bagian tumbuhan lainnya yang dikenal dengan dominansi apikal. Derajat dominansi apikal ditentukan oleh umur fisiologis tumbuhan tersebut.
Perkecambahan biji adalah kulminasi dari serangkaian kompleks proses-proses metabolik, yang masing-masing harus berlangsung tanpa gangguan. Tiap substansi yang menghambat salah satu proses akan berakibat pada terhambatnya seluruh rangkaian proses perkecambahan. Beberapa zat penghambat dalam biji yang telah berhasil diisolir adalah soumarin dan lacton tidak jenuh; namun lokasi penghambatannya sukar ditentukan karena daerah kerjanya berbeda dengan tempat di mana zat tersebut diisolir. Zat penghambat dapat berada dalam embrio, endosperm, kulit biji maupun daging buah.
Biji-bijian dari banyak spesies tidak akan berkecambah pada keadaan gelap, biji-biji itu memerlukan rangsangan cahaya. Karena itu kelihatannya perkecambahan yang dikendalikan cahaya merupakan satu adaptasi tanaman yang tidak toleran terhadap penaungan. Cahaya sendiri memiliki suatu intensitas, kerapatan pengaliran atau intensitas menunjukkan pengaruh primernya terhadap fotosintesis dan pengaruh sekundernya pada morfogenetika pada intensitas rendah, tetapi sebagian memerlukan energi yang lebih besar.
Ekologi tanaman dalam kaitannya dengan intensitas cahaya diatur oleh dua hal yaitu penempatan daun dalam posisi dimana akan diterima intersepsi cahaya maksimum. Berarti diatas kanopi dan didalam komunitas yang kompleks sebagian besar daun tesebut tidak dapat mencapainya. Karena itu sebagian besar dari daun akan berada pada intensitas cahaya yang kurang dari yang dibutuhkan. Fotosintesis dimaksimumkan untuk energi yang diterima, dengan anggapan keadaan ini menjadi dibawah titik jenuh cahaya untuk fotosintesis normal, sehingga tetap dalam kesinambungan neto karbon yang positif (pengikatan CO2 untuk fotosintesis lebih besar daripada jumlah yang dikeluarkan pada respirasi dan hasil karbohidrat). Sehelai daun yang berada pada keseimbangan C yang negatif akan memerlukan gula yang diambil dari sisa tanaman dan akan mengurangi ketegaran secara menyeluruh. Adanya penyinaran sinar matahari akan menimbulkan cahaya. Sedang cahaya sangat dibutuhkan untuk :Pembentukan zat warna hijau (chlorophyll), Pertumbuhan tanaman dan kualitas dari pada produksi. Tanaman yang kurang cahaya matahari pertumbuhannya lemah, pucat dan memanjang. Setiap jenis sayuran menghendaki syarat-syarat yang sangat berlawanan, ada suatu jenis yang menghendaki penyinaran panjang, ada pula yang pendek. Yang dimaksud penyinaran panjang ialah lebih dari 12 jam, sedang penyinaran pendek kurang dari 12 jam (Anonim, 2008).





















BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari percobaan perkembangan perkecambahan ditempat terang dan gelap yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa;
- faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perkecambahan yaitu faktor cahaya, suhu, temperatur, lingkungan dan pH.
- Suatu tahap awal perkembangan suatu tumbuhan khususnya tumbuhan biji dawali dengan penyerapan.
- Hormone yang membantu dalam perkembangan dan pertumbuhan kecambah ialah auksin, giberelin, asam abisat.
4.2. Saran
Pada percobaan selanjutnya dharapkan kepada praktikan agar lebih teliti dan rajin dalam melakukan pengamatan agar hasil yang didapat sesuai dengan yang kita harapkan.













DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Auksin. http://id.wikipedia.org/. diakses pada tanggal 10 Maret 2010 pukul 20:41 WIT : Samarinda.

Anonim, 2008. Hormon. http://id.wikipedia.org/. diakses pada tanggal 7 Juni 2010 pukul 11:41 WIT : Samarinda.

Dwidjoseputro, D., 1992. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia : Jakarta.
Kimball, John W., 1992. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga : Jakarta.
Salisbury, F.B. dan Ross, C.W., 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. ITB Press. Bandung.

Selasa, 11 Oktober 2011

Kamis, 07 April 2011

penagkapan serangga

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Cara Pengumpulan Serangga

Serangga dapat ditemukan di mana-mana. Adapun cara mengumpulkan serangga pun dapat dilakukan beberapa macam, tergantung pada maksudnya. Jika akan dibuat daur hidupnya, maka kita harus mengumpulkan mulai dari telur, nympha, larva, pupa hingga serangga dewasa (imago). Sedangkan jika hendak mengumpulkan serangga terbang, maka kita harus membawa alat jaring yang disautkan atau dijala dan kalau hendak mengumpulkan serangga air, maka kita harus membawa jaring yang ditenggelamkan di air (tentu saja menjadi basah) dan kemudian dikeringkan. Jika hendak menangkap serangga seperti kupu-kupu atau mengumpulkan ulat, pupa dan nympha, maka kita hanya perlu membawa pinset atau penjepit serta tempat yang tertutup rapat (Simanjuntak dan Hadikastowo, 1996).

Kadang-kadang dapat juga menjebak dengan menggunakan lem untuk menangkap lalat cicada di pohon tinggi. Dengan getah nangka, juga bisa dengan tabung pengisap yang diberi batas kapas. Lampu yang digunakan pada waktu menangkap serangga pada malam hari sangat memegang peranan. Kita hanya menunggu sampai keesokan harinya, ternyata tempat kantung di bawah alat sudah terisi banyak serangga (alat light trap) (Simanjuntak dan Hadikastowo, 1996).

Alat-alat yang digunakan

1. Alat-alat pendukung. Fungsi alat ini sebagai sarana makan untuk membuat atau menyiapkan alat-alat pokok seperti palu, gergaji, pisau, pahat, catut, kawat berbagai ukuran, paku, gunting, penjepit atau pinset, penusuk, jarum jahit, pisau skatel, kertas akrton, kertas koran, lem, jarum serangga, papan, kayu lunak (sengon atau balsa).

2. Jaring serangga. Alat ini dapat dibuat dari kayu, kawat, kain kelambu yang ukuran serta panjangnya dapat diukur semau kita (Simanjuntak dan Hadikastowo, 1996). Jaring serangga udara (Butterfly net) dibuat dari bahan yang ringan dan kuat, yaitu kain kasa atau blacu. Panjang tangkai jaring sekitar 75-100 cm. Mulut jaring terbuka dengan garis tengah 30 cm, panjang kantong kain kasa sekitar dua kali panjang garis tengah lingkaran mulut jaring. Jaring serangga dapat digunakan dengan dua cara, mengayunkan pada tanaman, dalam keadaan ini diperlukan kecepatan dan keterampilan, khususnya bagi serangga yang terbang cepat. Kedua menyapukan disekitar tanaman, di sini akan diperoleh jumlah dan jenis serangga yang relatif kecil. Jaring serangga air (Aquatic net) tidak jauh berbeda dengan jaring serangga biasa, akan tetapi biasanya lebih kuat. Garis tengah lingkaran mulut jaring sebaiknya 10-15 cm saja. Panjang kantong biasanya tidak lebih dari garis tengah, panjang tangkai kayu antara 1,5-2 m. bentuk mulut jaring ada yang bulat, segitiga atau seperti huruf D. jaring serangga darat (Sweep net) lebih sesuai digunakan untuk menangkap serangga-serangga yang menempel atau terdapat pada tanaman-tanaman perdu. Sesungguhnys bentuk jaring serangga darat ini relatif sama dengan jaring serangga udara, hanya dibuat dari bahan yang lebih kuat. Jaring serangga darat terdiri dari dua lapis. Jaring bagian luar panjangnya 45-60 cm, sedangkan bagian dalam panjangnya hanya 30 cm dengan bagian ujung terbuka. Panjang gagang atau tangkai 75 cm dan diameter lingkaran mulut jaring 30 cm. Jaring ini digunakan dengan cara mengayunkannya atau menyapukannya di atas permukaan tanaman (Jumar, 2000).

3. Tabung pengisap. Alat ini dapat dibuat dari kaca atau pipa yang dibuat membelok dan diberi sekat kapas.

4. Botol pembunuh. Alat ini harus tertutup rapat, oleh karena uapnya sangat beracun, yaitu berupabotol plastik berbagai ukuran dapat ditutup rapat dengan cara putar atau langsung.

5. Sampul serangga. Dikenal dengan nama papilot. Fungsinya sebagai tempat menyimpan serangga untuk sementara, berupa amplop-amplop plastik.

6. Papan perentang sayap. Alat ini dibuat dari kayu lunak seperti sengon atau balsa, lapisan kardus, sekrup pengencang, jarum-jarum untuk mengatur sayap dan antena, kertas penjepit.

7. Jarum serangga. Alt ini dapat digunakan untuk mengatur sayap, antena dan penusuk punggung di kotak-kotak penyimpanan. Jarum harus tahan karat dan nomor-nomornya tergantung jenis serangga.

8. Kotak pengering. Alat ini sebaiknya diberi lampu 25 watt, untuk mengeringkan serangga sebelum disimpan, harus rapat tidak dapat dimasuki serangga hama seperti semut dan sebangsanya.

9. Bejana pelemas. Untuk melemaskan badan serangga dan alat-alat, misalnya untuk praktikum mahasiswa, maka kita terlebih dahulu harus membuat lemas serangga dengan mencelupkan ke dalam tawas atau alkohol 70% atau hanya diuapi air panas.

10. Kotak penyimpan. Lemari penyimpan atau kotak koleksi dibuat agar raktis, mudah diawasi dan mudah diambil. Berupa rak-rak dorong dengan lampu 25 watt dan untuk mengering seperti kapur tohor, silikagel dan paradkhlorbenzen. Juga sebagai pencegah serangga digunakan kantung merica, serbuk nafta len dan kamfer gantung.

11. Alat penangkap serangga.

a. Menggunakan cahaya:

Lampu perangkap: beberapa serangga akan tertarik pada beberapa intensitas cahaya. Oleh sebab itu ada beberapa macam lampu perangkap serangga yakni Rothamsted light trap dan light trap.

b. Menggunakan umpan:

Jebakan berumpan (Baited traps): umpan yang sering digunakan untuk menarik serangga adalah dari jenis yang manis seperti gula, bir, sirup. Umpan biasanya dipakai dengan mengoleskannya ke pangkal permukaan pohon.

c. Lubang jebakkan berumpan (Baited pit all traps):

Alat ini sering digunakan untuk menangkap serangga dari ordo Coleoptera seperti kumbang dan kepik. Alat ini terdiri dari sebuah pot yang dimasukkan ke dalam tanah.

d. Perangkap kupu-kupu (Butterfly traps):

Alat ini sering digunakan untuk menangkap serangga kupu-kupu, ngengat dan lalat. Perangkap ini terdiri dari jaring net yang berbentuk silinder bagian atasnya digantungkan papan dengan celah berukuran kurang lebih 3 cm. alat ini ddapat digantungkan di pohon atau diletakkan di pohon belukar. Umpan diletakkan di tengah-tengah papan. Serangga kupu-kupu yang tertarik pada umpan akan masuk melalui celah. Kupu-kupu yang telah memakan umpan akan terbang ke atas di dalam jala net dan tidak keluar lagi (Simanjuntak dan Hadikastowo, 1996).

Ordo Lepidoptera

Lepidoptera berasal dari kata lepido berarti sisik dan ptera berarti sayap (bahasa Yunani). Serangga ini memiliki dua pasang sayap, sayap belakang biasanya sedikitkecil dari pada sayap depan. Sayap ditutup oleh bulu-bulu atau sisik. Imago dari ordo lepidoptera disebut kupu-kupu (jika aktif pada siang hari) atau ngengat (jika katif pada malam hari). Kupu-kupu (butterfly)memiliki sayap yang relatif indah dengan warna menarik, sedangkan ngengat (moth) bersayap kusam dan kurang menarik, biasanya tertarik pada cahaya lampu.

Antena panjang, ramping dan kadang-kadang plumose (banyak rambut) atau membongkol pada ujungnya. Larva biasanya dengan tiga pasang kaki toraksial dan lima pasang kaki abdominal atau kurang. Tubuh ada yang berbulu dan ada yang tidak. Metamorfosis sempurna, hampir semua larva (ulat) sebagai pemakan tanaman, baik daun, batang, bunga maupun pucuk. Beberapa spesies sebagai penggerek batang, buah dan membuat puru. Serangga dewasa dapat membantu proses penyerbukan (Jumar, 2000).

Ordo lepidoptera ukurannya bermacam-macam lebar 3-250 mm. bagian mulut unutk menjahit pada larva, menusuk pada dewasa, tanpa mandibula. Maxillae bersendi seperti lingkaran saluran atau belalai (proboscis) untuk mengisap cairan. Mata besar, bersayap 4, membraneus biasanya luas degang beberapa vena menyilang dan ditutupi oleh sisik-sisik mikroskopis yang saling menutupi, badan bersisik atau berambut. Warnanya jelas, larva seperti cacing dengan 3 pasang kaki dan kaki depan ke perut. 2 kelenjar sutera pada bibir dipakai untuk memintal coccon berisi pulpa (Simanjuntak dan Hadikastowo, 1996).

Antenanya ada yang seperti sikat dan ada yang seperti benang. Bagian mulutnya saling berhubungan membentuk tabung. Pengisap seperti spiral. Badan larva terdiri dari 13 segmen. Bagian mulutnya dilengkapi alat untuk menggigit. Larva ini mempunyai 3 pasang kaki pada dada (thorak) dan biasanya ada kaki 5 pasang kaki pada bagian perut (abdomen), yang disebut kaki semu (proleg). Tiap pasang kaki semu ini terikat pada segmen perut ke 6, 7, 8, 9 dan 12, pada ujung kaki (proleg) terdapat semacam kait dari khitin. Perkembangannya secara holomet bolis, yakni ulat menjadi pupa kemudian menjadi kupu-kupu. Kupu-kupu yang kecil biasanya dikelompokkan dalam Microlepidoptera, sedangkan yang besar dalam kelompok Macrolepidoptera (Pracaya, 1991).

Ordo Hymenoptera

Hymenoptera berasal dari bahasa Yunani kuno human atau hymen yang artinya kulit tipis, membran dan ptera yang artinya sayap. Disebut demikian karena sayap ordo seperti membran yang telanjang tak ada pelindungnya. Dalam ordo terdapat beberapa keluarga pemakan tanaman, tetapi sebagian besar merupakan pemakan binatang lain (Pracaya, 1991).

Bagian ulit tipe menjahit, mengelus-menusuk, mengisap pada lebah. Bersayap 4, kecil, membraneus, ada vena, waktu terbang bergetar. Betina dengan ovipositor untuk menggergaji, menusuk dan menyengat, larva serupa u;at, tak berkaki, pupa pada umumnya dalam coccon. Mengalami metamorfosis sempurna, kebanyakan solitair, tetapi sosial dalam koloni. Larva sering parasit. Ada 103 spesies (Simanjuntak dan Hadikastowo, 1996).

Lokasi dan Waktu Pengumpulan Serangga

Tiap serangga memiliki masa aktif sendiri-sendiri sehingga berbeda antara satu jenis serangga dengan serangga lainnya. Oleh karena itu , jika kita ingin mengumpulkan satu jenis serangga tertentu maka kapan masa aktif serangga tersebut perlu diketahui terlebih dahulu. Ada serangga yang aktif pada pagi hari, siang hari, sore hari dan bahkan ada yang aktif pada malam hari. Ada baiknya jika sebelum melakukan pengumpulan serangga terlebih dahulu mengetahui gejala atau tanda yang ditimbulkan maupun yang ditinggalkan oleh serangga pada tanamna serta bagian-bagiannya. (Jumar, 2000).


DAFTAR PUSTAKA

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: PT. Renika Cipta.

Pracaya. 1991. Hama dan Penyskit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.

Simanjuntak, R. H dan Hadikastowo. 1996. Mengumpulkan dan Mengawetkan Serangga.Jakarta: Penerbit Bhratara.